Tawakal dan Ikhtiar: Kisah Seorang Sufi Ingin Berhenti Bekerja
Suatu ketika, Syaqiq al-Balkhi meminta izin kepada guru sufi besar bernama Ibrahim bin Adam untuk bekerja dan berdagang selama beberapa minggu.
Baru tiga hari berlalu, Ibrahim bin Adam dikejutkan dengan kedatangan Syaqiq al-Balkhi. Keheranan menyergap hati Ibrahim bin Adam. Ada apa gerangan sang murid kembali lagi kepadanya bukankah ia memberikan izin kepadanya untuk bekerja beberapa minggu ke depan.
Ibrahim bin Adam pun bertanya, “Ada apa gerangan engkau datang ke sini?”
“Wahai guruku, di tengah perjalanan dagangku ketika aku menyusuri sebuah oase di tengah gurun pasir aku pun melihat seekor burung kecil yang patah sayapnya. Burung kecil ini tak dapat lagi terbang dan mencari makan. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah langit datanglah seekor burung besar yang membawa makanan di paruhnya. Burung besar tersebut datang untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya.”
Ibrahim bin Adam pun memberikan petuah kepada Syaqiq al-Balkhi, “Seperti itulah seharusnya manusia berbuat saling menyayangi di antara mereka seperti halnya burung besar yang engkau lihat dalam perjalanan dagangmu, tetapi mengapa engkau kembali ke sini dan meninggalkan perdaganganmu?”
“Guruku, aku datang ke sini karena aku berpikir bukankah Allah yang memerintahkan burung besar untuk menyuapi burung kecil yang patah sayapnya juga mampu memberikanku rezeki di mana pun dan kapan pun aku berada. Aku akan meninggalkan seluruh usaha perdaganganku dan berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah pasti Allah memberikan rezeki kepada seluruh hamba-Nya,” jawab Syaqiq al-Balkhi.
Ibrahim bin Adam pun memberikan nasehat yang sangat bijaksana, “Apakah engkau mengira dengan engkau beribadah dan meninggalkan usaha perdaganganmu niscaya engkau meraih rida Allah? Mengapa engkau tidak meniru burung besar yang memberikan makan kepada burung kecil yang patah sayapnya? Burung besar itu berusaha mencari makan dan memberikan kepada burung kecil yang kesusahan. Apakah engkau belum mendengar sabda Rasulullah Saw ‘Tangan di atas (orang yang memberi) lebih baik dari tangan di bawah (orang yang meminta)’?”
Syaqiq al-Balkhi pun terdiam seribu kata. Ia pun meminta permohonan maaf kepada gurunya, Ibrahim bin Adam.
“Ketahuilah muridku, seorang sufi harus mencari derajat yang lebih baik di hadapan Allah dengan usaha terbaik yang dapat ia kerjakan.”
Syaqiq al-Balkhi pun menyanjung gurunya, “Sungguh engkau adalah seorang yang sangat luas ilmunya.”
Kisah ini memberikan kita gambaran bahwa ulama sufi bukanlah ulama yang sekedar berpasrah diri kepada Allah. Melainkan, mereka semua adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam usaha mereka seraya memasrahkan hasilnya kepada Allah.
Sebagaimana kisah ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak sekedar pasrah dengan musibah virus Covid-19 yang melanda negara kita tercinta. Lebih dari itu, kita harus berusaha semaksimal mungkin berusaha untuk mengurangi jumlah jatuhnya korban dan menjaga diri kita serta keluarga kita di rumah masing-masing dari penyebaran virus Corona, wabah atau penyakit lainnya.
Kisah di atas juga mengingatkan kita kepada kisah khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika, khalifah Umar bin Khattab berjalan melewati sekelompak orang yang malas tak mau bekerja.
“Mengapa kalian tak berangkat untuk bekerja?” tanya khalifah Umar bin Khattab.
“Kami semua adalah golongan yang bertawakal kepada Allah,” jawab mereka.
Maka, sang Khalifah pun menghardik mereka, “Kalian semua bukanlah orang yang bertawakal kepada Allah. Kalian semua adalah orang-orang yang putus asa. Ketahuilah, gambaran orang-orang yang bertawakal kepada Allah adalah seperti seseorang yang berusahan menanam benih di ladang kemudian ia memasrahkan hasilnya kepada Allah.”
Dalam hal ini, hakikat tawakal (dalam bahasa Arab: tawakkul) menurut para ulama sufi adalah berserah diri kepada Allah Swt setelah ia berusaha dengan sekuat tenaga. (Sumber: Silsilah Shout al Azhar). Baca Juga : Makrifat-rasa-dalam-kopi
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....