Terlebih dengan digelarnya pemilihan kepala daerah (PILKADA) serempak di 171 daerah saat tahun 2018 para investor asing diprediksikan lebih memilih ‘wait and see’ hingga pilkada selesai.
Meskipun investor asing menurun tetapi investor dari dalam negeri diperkirakan akan melonjak.
“Terpengaruh pilkada iklim investasi didominasi investor domestik, dan investasi juga tidak akan mengalami lonjakan yang signifikan di tahun 2018,”
Sementara itu dengan adanya Pilkada belanja negara diperkirakan akan meningkat daya beli negara.
Terlebih selain Pilkada pada tahun 2018 Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan besar seperti Asian Games 2018 dan International Monitory Fund (IMF) 2018.
Apa yang dimaksud dengan hasil begitu-begitu saja? Beberapa perwakilan kaum pergerakan atau masyarakat sipil akan ada yang menjadi wakil rakyat, akan ada yang menjadi menteri, akan ada yang menjadi komisaris BUMN, akan ada yang menjadi birokrat, tapi itu semua tidak memberikan akselerasi terhadap substansi agenda masyarakat sipil. Paling-paling hanya polesan sedikit saja, supaya wajah rezim, siapa pun rezim itu, terlihat lebih humanis.
Kenapa bisa begitu? Karena sesungguhnya yang sedang terjadi bukan prinsip perubahan sosial dalam konteks masyarakat sipil. Yang terjadi sesungguhnya hanyalah barter, atau hadiah, atau kalau lebih pas lagi, “permen untuk membungkam representasi dari masyarakat sipil” sebagai hadiah atas energi dan upayanya dalam membantu memenangkan kandidat. Itu berlaku untuk siapa pun yang kelak memenangi kekuasaan.
Karena pada dasarnya, yang diberi hadiah oleh rezim adalah orang, bukan lembaga, bukan pula warga negara. Diberi hadiah karena kehadiran mereka sebagai anggota tim sukses.
Karena hadiah itu untuk orang, maka berupa jabatan. Bukan agenda sosial. Bukan kebijakan dan program rezim.
Persoalannya, kenapa hal itu selalu terulang berkali-kali?
Pertama, karena pada dasarnya secara umum, gerakan masyarakat sipil di Indonesia nisbi lemah. Tidak punya nilai tawar untuk kegiatan politik elektoral. Komunitas politik masyarakat sipil tidak dianggap eksis dan berdaya oleh para elite.
Kedua, dalam gerakan masyarakat sipil tetap ada patronase dan figur politik. Ini pula yang kerap mencederai agenda gerakan masyarakat sipil. Ada deretan tokoh untuk isu-isu tertentu sehingga mudah “dibeli” oleh elite politik. Dengan mengambil satu atau dua orang tokoh, sebuah partai politik atau bahkan rezim politik bisa mendaku sudah melakukan bagian dari perubahan sosial.
Ketiga, gerakan masyarakat sipil gagal memaksimalkan ruang-ruang yang disediakan oleh rezim. Ruang-ruang kosong itu ada bukan karena kebaikan hati rezim, tapi memang didesakkan terus-menerus, dan kadang kala memang diciptakan oleh elite politik sebagai bagian dari ruang tawar antarmereka.
Misalnya soal BUMD dan dana desa. Sekalipun kebijakan ini tidak sempurna, tapi memenuhi hampir semua unsur gerakan masyarakat sipil. Tapi, siapakah yang memanfaatkan ruang ini? Siapakah yang menempatkan kader-kader terbaik gerakan rakyat di desa untuk memaksimalkan perubahan di tingkat akar masyarakat. Kalaupun ada, kecil sekali.
Keempat, masih berhubungan dengan poin ketiga, hal itu menunjukkan bahwa sejatinya, imajinasi gerakan masyarakat sipil sama dengan elite politik. Pergeseran kuasa hanya dianggap ada kalau yang berubah adalah siapa yang menjadi Presiden, menteri, anggota dewan, dan lain lain. Itu sih perubahan nasib orang per orang ???
Keempat poin itu sepertinya akan terus terjadi pada tahun 2018. Kemudian terjadi lagi pada tahun 2019, dan seterusnya.
Maka, yang pasti kemudian terjadi lagi dan lagi adalah perebutan dan pencaplokan sumber daya alam di mana saja, kebijakan pro-petani dan buruh nihil, cara pandang pemerintah terhadap BPJS tetap sama. Lanjut terus. Terus lanjut. GAMBARAN VISI DAN MISI
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....