SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI SEBUT PONDASI BANGUNAN MAKRIFAT DAN KEWALIAN SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI SEBUT PONDASI BANGUNAN MAKRIFAT DAN KEWALIAN - SUARA HARIAN OTO BEMO BERODA TIGA
Suara Harian Oto Bemo Beroda Tiga

Komunikasi, Media Ilmu & Pengetahuan Umum Blogging

Langsung ke konten utama

"OTO BEMO.. OTO BEMO.. BERODA TIGA .. TEMPAT BERHENTI.. DITENGAH TENGAH KOTA..PANGGIL NONA..PANGGIL NONA..NAIK KERETA..NONA BILANG..TIDAK PUNYA UANG.. JALAN KAKI SAJA"

SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI SEBUT PONDASI BANGUNAN MAKRIFAT DAN KEWALIAN

Bangunan kenabian, kerasulan, kewalian, makrifatullah, dan mahabbah, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, berdiri kokoh di atas fondasi kesabaran (menahan dan mengendalikan diri) orang yang berada pada maqam tersebut dalam menghadapi sebuah bala’ atau ujian. 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengilustrasikan maqam spiritual sebagai bangunan yang juga memiliki struktur dan unsur-unsur yang membentuknya. Syekh Abdul Qadir menyebut ujian atau bala sebagai fondasi (spiritual) utama dalam sebuah bangunan kebaikan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan, tanpa fondasi sebuah bangunan fisik tidak akan dapat berdiri. Kalau pun berhasil juga berdiri, pendirian bangunan fisik tanpa fondasi tersebut akan sangat  rapuh dan lemah. 

Hal yang sama juga terjadi pada sebuah bangunan spiritual. Bangunan kenabian, kerasulan, kewalian, makrifatullah, dan mahabbah, kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, berdiri kokoh di atas fondasi kesabaran (menahan dan mengendalikan diri) orang yang berada pada maqam tersebut dalam menghadapi sebuah bala’ atau ujian. 

Kesabaran atas bala’ atau ujian ini membentuk, mendidik, menggembleng, melatih, dan memberikan pelajaran serta pengalaman batin yang kokoh bagi para rasul, nabi, wali, dan ulama sebagai fondasi spiritual mereka. لا تهرب من البلاء فإن البلاء مع الصبر أساس لكل خير. أساس النبوة والرسالة والولاية والمعرفة والمحبة البلاء فإذا لم تصبر على البلاء فلا أساس لك. لا بقاء لبناء إلا بأساس، أرأيت بيتا ثابتا على مزبلة ربوة Artinya, “Jangan kau lari dari ujian (bala) karena ujian yang dihadapi dengan kesabaran merupakan fondasi (spiritual) bagi setiap bangunan kebaikan. 

Fondasi atas bangunan kenabian, kerasulan, kewalian, makrifat (makrifatullah), dan mahabbah (cinta kepada Allah) adalah bala’. Jika kau tidak bersabar atas bala’, maka kau tidak memiliki fondasi (spiritual). Sedangkan tidak ada bangunan tanpa fondasi. Apakah kau pernah melihat bangunan rumah yang kokoh berdiri di atas tempat pembuangan sampah yang menggunung?” (Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Fathur Rabbani wal Faidhur Rahmani, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], halaman 73). 

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menambahkan, “Bisa jadi kamu menghindar dan melarikan diri dari bala atau ujian Allah karena tidak membutuhkan derajat kewalian, makrifat, dan kedekatan dengan Allah, tetapi bersabar dan beramal baiklah hingga hati dan batinmu diperjalankan ke pintu ‘kedekatan’ dengan-Nya. Orang beriman tidak takut dan tidak berharap kepada selain Allah.” (Al-Jailani, 2005 M/1425-1426 H: 73). 

Allah SWT dalam beberapa ayat menyebutkan bala’ yang menguji seberapa jauh kesabaran dan mahabbah manusia kepada-Nya sebagaiman keterangan pada Surat Al-Baqarah ayat 155: وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ Artinya, “Sungguh, Kami menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (Wahai Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar,” (Al-Baqarah ayat 155). Pada ayat lain, Allah juga menyebutkan bahwa kehidupan dan kematian diciptakan sebagai sebuah ujian untuk memilih dan menyeleksi manusia-manusia terbaik dan pilihan: الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ Artinya, “(Dialah Zat) Yang menjadikan mati dan hidup agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. 

Dia maha perkasa lagi maha pengampun,” (Al-Mulk ayat 2) Allah SWT juga menurunkan ujian berupa kenikmatan dunia selain penderitaan dan bencana untuk menguji seberapa jauh sikap syukur manusia atas nikmat yang dianugerahkan kepada mereka sebagaimana tanggapan Nabi Sulaiman AS dalam menerima anugerah-Nya: قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ Artinya, “Sulaiman AS berkata, "Ini anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau ingkar. Baca Juga : Definisi-wali-allah-dalam-kajian-tasawuf

Siapa saja yang bersyukur, maka sungguh ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Tetapi siapa saja yang ingkar, maka sungguh Tuhanku maha kaya lagi maha mulia,'” (An-Naml ayat 40). Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya di sejumlah riwayat menyebutkan hal serupa. Bala atau ujian Allah yang paling berat diberikan kepada para nabi, kemudian orang-orang teladan, dan kemudian orang-orang pilihan. قال إن أشد الناس بلاء الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘

Sungguh, manusia yang paling berat ujiannya (bala) adalah para nabi, kemudian orang-orang pilihan di bawahnya, lalu orang-orang utama level berikutnya,’” (HR Bukhari, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, Ibnu Hibban, Ad-Darimi, At-Thayalisi, Abd bin Hamid). Bala’ atau ujian Allah ini menjadi fondasi spiritual atas bangunan kokoh kenabian, kerasulan, kewalian, kehambaan, dan kesalehan para rasul, para nabi, para wali, ulama, dan orang-orang saleh-salehah. Wallahu a’lam. [nu.or.id]



Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?

Komentar

POPULAR POST

IMAM AL GHOZALI JELASKAN MUSIK DAN TARIAN PARA SUFI

Musik dan tarian para sufi dijelaskan oleh Imam Al Ghazali. Hukum musik dan tarian tergantung bagaimana keduanya digunakan. Sedangkan bagi kaum sufi, musik dan tarian yang mereka lakukan merupakan sepenuhnya bersifat keagamaan. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Kimia-i Sa'adah menjelaskan, para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka. Dan dengan bermusik, para sufi kerap mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani. Maka dalam hal ini, hati para sufi menjadi sebersih perak yang dibakar di dalam tungku. Mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin walau seberat apapun. Baca Juga :  Kharomah-sayidah-nafsiah-dan-wali-allah Para sufi kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani. Sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerap kali kehilangan kesadaran indriawi. Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian d