Dulu, di Sumatera Barat, kaum Muslim terbelah dua antara mereka yang ingin mempertahankan tradisi lokal dan mereka yang ingin menghancurkannya. Kelompok pertama disebut "Kaum Tua", sedangkan kelompok kedua disebut "Kaum Muda."
Fenomena itu tak hanya terjadi di Minangkabau. Di pulau Jawa, kaum tua dan kaum muda juga ada, dan mereka bersitegang. Di Yogyakarta, kaum muda mendirikan perkumpulan dan mereka memberi nama "Muhammadiyah" artinya pengikut Nabi Muhammad.
Salah satu kegiatan rutin kaum muda adalah merazia sesajen yang biasanya dilakukan oleh kaum tua. Jika ada sesajen, mereka langsung menendangnya, sambil teriak "allahu akbar" atau "astaghfirullah." Mereka beranggapan bahwa sesajen itu musyrik.
Sekarang, saya tak lagi menjumpai sesajen. Agaknya, Kaum Muda menang melawan khurafat, tahayul, dan bid'ah. Kaum Tua yang diwakili NU juga sudah tak lagi menggunakan sajen2an. Mungkin mereka sudah terpengaruh Muhammadiyah dalam hal satu ini. Di Jakarta, sekarang tak ada lagi orang NU atau Kaum Tua yang pasang sesajen. Musyrik katanya.
Sajen itu budaya Indonesia. Menyembelih kambing kurban itu budaya Arab. Kedua2nya menggunakan medium yang sama --makanan-- untuk dipersembahkan kepada Hyang Maha Kuasa. Tapi, yang dari Arab itu merasa bahwa kurban mereka bukan musyrik sementara makanan di atas sajen musyrik. Tak ada yang lebih absurd dari orang beragama. Penulis FB Oleh : Luthfi Assyaukanie
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....