EMPAT TINGKATAN DALAM ILMU AGAMA EMPAT TINGKATAN DALAM ILMU AGAMA - SUARA HARIAN OTO BEMO BERODA TIGA
Suara Harian Oto Bemo Beroda Tiga

Komunikasi, Media Ilmu & Pengetahuan Umum Blogging

Langsung ke konten utama

"OTO BEMO.. OTO BEMO.. BERODA TIGA .. TEMPAT BERHENTI.. DITENGAH TENGAH KOTA..PANGGIL NONA..PANGGIL NONA..NAIK KERETA..NONA BILANG..TIDAK PUNYA UANG.. JALAN KAKI SAJA"

EMPAT TINGKATAN DALAM ILMU AGAMA

Setiap agama memiliki dua sisi ajaran yaitu ajaran yang bersifat eksoterik (bagian luar) dan ajaran yang bersifat esoteris (bagian dalam).

Eksoteris adalah pemahaman yang menekankan pada dogma dan penafsiran yang bersifat tekstual, harfiah dan lahiriah. Sedangkan esoterisme adalah pemahaman yang lebih menitikberatkan pada pengertian yang bersifat hakikat, nilai dan prinsip. Eksoterisme bergerak dari luar ke dalam sedangkan esoterisme bergerak dari dalam ke luar. Keduanya sebenarnya bisa saling melengkapi dan menyempurnakan.

Adapun dalam ilmu tasawwuf (spiritualisme dan mistisisme Islam), ilmu untuk mencapai Tuhan dibagi dalam 4 tahapan atau 4 tingkatan yaitu : syariat, thariqat, hakikat dan makrifat.

Syariat berarti praktek formal hukum dan tata cara keagamaan, sedang thariqat berarti jalan atau metode untuk mencapai Tuhan. Hakikat berarti makna sejati dari ilmu agama itu sendiri sedang makrifat berarti pengetahuan mengenai segala sesuatu yang bersumber langsung dari ilmu Tuhan.

Andaikata dilambangkan dengan bahasa pendidikan maka tingkatan syariat, thariqat, hakikat dan makrifat adalah seperti tingkatan sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan perguruan tinggi (PT).

Orang Jawa juga mengenal 4 tingkatan ini yang biasanya disebut sebagai : sembah raga, sembah cipta, sembah rasa dan sembah sukma.

Sembah raga berarti menyembah Tuhan cukup dengan perbuatan atau gerak raga belaka, sembah cipta berarti menyembahTuhan cukup dengan perbuatan, dengan segenap konsentrasi dan pikiran yang terpusat, sembah rasa atau sembah kalbu berarti menyembah Tuhan dengan sepenuh hati, jiwa dan segenap perasaan sedang sembah sukma berarti berhadapan dan menyembah Tuhan secara langsung dengan ruh dan sukma kita sendiri.

Tingkat yang pertama adalah tingkatan yang paling mudah diketahui dan dilaksanakan oleh orang banyak yang masih awam sedang tingkatan terakhir adalah tingkatan yang paling tinggi dan paling sukar serta hanya sangat sedikit sekali manusia yang bisa mencapainya. Syariat, thariqat, hakikat dan makrifat juga bisa dilambangkan sebagai sabut kelapa, batok kelapa, buah kelapa dan rasa santan kelapanya.

Syariat ibarat sabut kelapa karena hal ini terletak sebagai bagian yang paling luar atau permukaan serta masih dibutuhkan langkah yang panjang untuk bisa memprosesnya. Thariqat diibaratkan batok kelapa, meskipun demikian masih cukup susah juga untuk membukanya. Hakikat ibarat buah kelapa karena buah kelapa inilah akhirnya yang akan dipergunakan. Namun buah kelapa inipun masih harus diparut dan diproses untuk mendapatkan santannya. Namun air santan inipun masih berwujud sehingga dia belum bisa dianggap sebagai makrifat. Baca Juga : Namun-aku-bukan-aku-bukan-aku-adalah-aku

Rasa dari santan kelapa inilah yang diibaratkan sebagai makrifat karena dia sudah tidak berada lagi di alam yang berwujud namun menjadi intisari dari seluruh keberadaan pohon kelapa. Begitu juga Tuhan adalah sesuatu yang “tak berwujud” namun menjadi sumber, tujuan, intisari dan dasar dari segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Wallahu a'lam


Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?

Komentar

POPULAR POST

IMAM AL GHOZALI JELASKAN MUSIK DAN TARIAN PARA SUFI

Musik dan tarian para sufi dijelaskan oleh Imam Al Ghazali. Hukum musik dan tarian tergantung bagaimana keduanya digunakan. Sedangkan bagi kaum sufi, musik dan tarian yang mereka lakukan merupakan sepenuhnya bersifat keagamaan. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Kimia-i Sa'adah menjelaskan, para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka. Dan dengan bermusik, para sufi kerap mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani. Maka dalam hal ini, hati para sufi menjadi sebersih perak yang dibakar di dalam tungku. Mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin walau seberat apapun. Baca Juga :  Kharomah-sayidah-nafsiah-dan-wali-allah Para sufi kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani. Sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerap kali kehilangan kesadaran indriawi. Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian d