Jepang terkenal dengan
kerja kerasnya dan kerja lemburnya. Semua orang tau itu. Tapi tak banyak yang
tahu kalau budaya kerja Jepang itu “Ndeso”. “Ndeso” berarti “kampungan” seperti
yang kita tahu, tapi bukan itu yang saya maksud. Dalam budaya kerja Jepang,
“Ndeso” berarti berpikir seperti penduduk desa. Seorang pekerja Jepang akan
merasa kantornya seperti desa, penduduknya saling gotong royong membangun
lingkungannya. Ini adalah sebuah pemikiran ala Jepang, budaya kerja unik yang
hanya ada di negeri sakura ini. Pemikiran “Ndeso” ini dikenal dengan istilah
“Village Relationship” atau muranogurupu (「ムラ」のグループ), yang jadi basis
Jepang berpikir secara kelompok.
1. Society built on
“place” relationship
Ada seorang anak baru di
kantor, anggap saja namanya Budi. Sebelum bergabung, Budi sempat kerja di
perusahaan Indonesia. Ia orang yang super dan hebat, pemikir ulung dan kreatif,
kariernya menanjak cepat sekali. Ia merasa seperti star employee saking
hebatnya, semua orang mengenalnya di tempatnya yang lama. Tapi ia memutuskan
berhenti dan pindah ke perusahaan Jepang. Ia kaget bukan main, kehebatannya tak
dihargai oleh rekan-rekan kerjanya. Ya, inilah budaya kerja Jepang. Tak ada
istilah star employee atau bintang karyawan atau apapun namanya, karena mereka
satu kesatuan dalam kelompok, bergerak bersama-sama. Tak ada keputusan
individual, adanya keputusan kelompok. Tak ada tanggung jawab individual,
adanya tanggung jawab kelompok. Tak ada ide individual, adanya ide kelompok.
Tak ada orang yang mengenal nama Budi, kenalnya nama kelompoknya, sehebat
apapun ia.
2. Once workers enter
company, the company becomes the “place” for their careers
Sebagian besar orang
Jepang punya prinsip “life time employment”. Satu perusahaan seumur hidup.
Tempat bekerja akan menjadi rumahnya atau desa tempat tinggalnya yang tak
terpisahkan. Beda dengan orang Indonesia yang menganggap kantor sebagai “tempat
bekerja”, orang Jepang menganggap kantor sebagai “tempat tinggal”nya. Terkadang
kantor pun menjadi tempat tidurnya saat ada kerjaan yang tak bisa ditinggal
sampai larut malam.
Memecat seorang pekerja
di Jepang termasuk taboo dan jarang sekali dilakukan meskipun performa si
pekerja jelek sekali. Bahkan ada karyawan sudah bolos kerja 6 bulan
pun masih dipertahankan. Terkadang pekerja yang membolos itu memang sedang
stres berat dan mungkin jadi alergi masuk kantor. Ya mau bagaimana lagi.
Memecat pekerja hanya dilakukan saat kondisi keuangan perusahaan sudah tak
memungkinkan lagi. Inipun bukan dengan jalan memecat, melainkan dengan memohon pekerja-pekerjanya
untuk mengundurkan diri secara sukarela. Sungguh unik!
3. Workers give priority
to stability and cooperation
Di sini semua orang
saling bantu. Ini yang membuat orang-orang bekerja sampai larut malam. Bukan
karena kerjaannya yang tak beres, melainkan karena bantu-bantu kerjaan
rekan-rekannya sampai beres! Tanggung jawab suatu kerjaan dibagi rata di
kelompok. Orang hebat dapat tanggung jawab lebih besar daripada orang biasa,
dan orang lemah hanya dapat tanggung jawab sedikit. Tapi lagi-lagi, hasil akhir
kerjaan tetaplah kelompok, bukanlah individu orang hebat tersebut.
4. Large differences in
evaluation and treatment can affect cooperation and moral
Kata kunci di budaya
kerja Jepang adalah kelompok. Supaya kelompok ini stabil dan tak ada iri dengki
atau konflik internal, semua pekerja dianggap dan dilihat sama rata. Orang
hebat kehebatannya diredam. Orang lemah kelemahannya didongkrak. Hasilnya semua
performa pekerja seperti grafik garis lurus, tak ada puncak dan tak ada lembah.
Semua merasa satu, tak ada yang sok pamer keahlian dan tak ada yang minder
karena kurang kemampuan, bagaikan suatu desa dikelilingi sawah yang penduduknya
hidup rukun, aman, dan tentram. BACA : PENILAIAN CEWEK TERHADAP COWOK GANTENG
Latihan Merayap Tambang
- Filosofi TNI "Manajemen Keseimbangan" BRAVO
PDAM TK
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....