Lelaki alim bernama Muammar Taqi pusing tujuh keliling. Hari-harinya menjadi menjemukan. Nikmat sering bertemu dengan Nabi Muhammad dalam mimpi tiba-tiba berhenti. Berminggu-minggu ia merenung mencari-cari, apa gerangan yang terjadi pada dirinya? Padahal, ia tidak berubah sama sekali, termasuk dalam ibadah dan laku spiritualitas lainnya. Kejadian itu berlangsung lama, hingga sekali waktu ketika ia tidur malam, Muammar Taqi bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Seperti biasa, Rasulullah datang dengan wajah yang sangat teduh. Namun, keteduhan wajah itu tak menghalangi kegundahan hati Muammar Taqi.
Hal itu mendorongnya untuk bertanya kepada Rasulullah. “Mengapa engkau tidak mau menyapa dan berkunjung ke mimpiku lagi, ya Rasulullah?” Rasul tersenyum, kemudian menjawab. “Bagaimana mungkin aku mengunjungimu sementara antara dirimu dengan diriku ada hijab yang sangat tebal?” Muammar Taqi kelimpungan. “Apa itu? Katakan padaku, Ya Rasulullah.” “Kau menulis karangan yang membantah An-Nabhāni” Setelah itu Muammar Taqi terjaga dari tidurnya.
Suara Rasulullah masih terngiang jelas. Ia lalu bangkit dari tempat tidur dan segera menuju ruang tengah tempat ia menuliskan karya bertajuk Nailul Amāny fi Radd alan Nabhāni. Manuskrip kitab itu segera ia bakar. “Ternyata inilah yang menjadi penghalang aku bertemu dengan kekasihku Muhammad,” ucapnya.
Perempuan Pemintal Benang dan Nelayan Ia menulis kitab Nailul Amany fi Radd alan Nabhāni untuk menghimpun sejumlah kritikan dan bantahan terhadap karya Yusuf bin Ismail An-Nabhāni yang bertajuk Jāmiu Karamātil Auliā, yakni kitab ensiklopedia kekeramatan para wali Allah. Salah satu contohnya adalah cerita kekeramatan Nafisah binti Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Alkisah, seorang perempuan pemintal benang yang memiliki empat orang putri, berangkat ke pasar untuk menjual hasil pintalannya.
Di tengah perjalanan seekor burung tiba-tiba menyambar barang dagangannya. Perempuan itu menangis. Ia sedih dan bingung, bagaimana bercerita kepada putri-putrinya ketika pulang dengan tangan hampa. Seseorang datang menghampirinya, dan mengajaknya untuk menemui cucu Rasulullah. Sayidah Nafisah menyambut kedatangan mereka. Setelah bertanya kesedihan apa yang membuat perempuan pemintal benang itu bersedih, Sayidah Nafisah menasihatinya dan mengajaknya berdoa.
Setelah itu, ia meminta perempuan pemintal benang untuk menenangkan diri dengan duduk bersandar di sampingnya. Tidak lama kemudian, sekelompok lelaki bertubuh tegap datang tergopoh-gopoh. Atribut dan tampilannya menunjukkan bahwa mereka adalah para nelayan. “Kami mengalami kejadian aneh, Ya Sayyidati,” ucap mereka. “Ceritakan. Apa itu?” Salah seorang dari mereka bercerita bahwa setelah melaut berminggu-minggu, mereka mendapat tangkapan yang melimpah. Mereka pulang dengan hati yang berbunga-bunga. Namun, perjalanan tidak semulus yang mereka bayangkan.
Perahu mereka bocor justru ketika hampir sampai di tepi laut. Setengah mati mereka mencoba memperbaiki dan menambal kebocoran perahu itu. Hasilnya nihil. Badan perahu perlahan mulai tenggelam. Tiba-tiba datang seekor burung menapakkan kaki di badan perahu, dan meninggalkan pintalan kain yang dilepaskan dari pelatuknya. Setelah itu, burung pun terbang lagi.
Salah seorang dari mereka segera mengambil pintalan kain yang dibawa oleh burung tersebut, dan menambalkannya ke badan perahu sehingga mereka selamat dan tidak jadi tenggelam. “Sebagai rasa syukur, kami berikan lima ratus dirham ini, Ya Sayidati.” Lalu para nelayan pun pamit undur diri. “Berapa penghasilanmu berjualan dalam sehari?” tanya Sayidah Nafisah kepada perempuan pemintal benang. “Dua ratus dirham." “Ini lima ratus dirham untukmu semuanya,” ujar Sayidah Nafisah sambil memberikan seluruh pemberian nelayan. Kisah lain adalah tentang seorang wali bernama Muhammad Chudori Al-Majdub.
Pria ini diceritakan memiliki keramat yang tidak kalah aneh. Ia bisa berkhotbah dan salat Jumat pada waktu yang sama di tiga puluh tempat yang berbeda. Ia juga kerap diceritakan bisa “membelah diri” dan bermalam di satu waktu pada tempat yang berbeda-beda. Keramat atau karomah dalam kamus Al-Munjid (1987) diartikan sebagai kemuliaan. Makna terminologisnya adalah perkara atau suatu kejadian luar biasa di luar nalar dan kemampuan manusia awam. Baca Juga : Gtmetrix-sebuah-tool-pengujian-performa
Karomah diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya yang saleh, terbebas dari dosa besar dan kecil, dan memiliki kedekatan dengan Allah. Tingkatan hamba yang demikian disebut wali. Ibnu Araby dalam Futuhat Makiyyah (1996) menulis bahwa jumlah wali sangat banyak dan menyebar di penjuru bumi. Selain itu, ia juga mencatat bahwa ada semacam tingkatan derajat para wali. Secara berurutan tingkatan tersebut adalah Wali Quthb, Wali Aimmah, Wali Autad, Wali Abdal, Wali Nuqoba, Wali Nujaba, Wali Hawariyyun, Wali Rajabiyyun, dan Wali Khatam.TIRTO.ID
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....