BETINDAK LOKAL BERFIKIR GLOBAL BETINDAK LOKAL BERFIKIR GLOBAL - SUARA HARIAN OTO BEMO BERODA TIGA
Suara Harian Oto Bemo Beroda Tiga

Komunikasi, Media Ilmu & Pengetahuan Umum Blogging

Langsung ke konten utama

"OTO BEMO.. OTO BEMO.. BERODA TIGA .. TEMPAT BERHENTI.. DITENGAH TENGAH KOTA..PANGGIL NONA..PANGGIL NONA..NAIK KERETA..NONA BILANG..TIDAK PUNYA UANG.. JALAN KAKI SAJA"

BETINDAK LOKAL BERFIKIR GLOBAL

‘’Bertindak local, berfikir global!’’ Bahasa ini mungkin sering anda dapatkan, baik dimedia audio maupun visual.  Namun demikian, pemahaman atau maksud kalimat tersebut sering kali dianggap enteng. Anda tentu sudah mengetahui budaya pikir masyarakat Indonesia pada umumnya lebih mengedepankan hati (perasaan) dibanding dengan akal (logika).

Falfasah hidup yang dilestarikan didalam masyarakat adalah memandang hidup ini cuma sebentar. Berpegang pada falsafah hidup tersebut, masyarakat memandang makna hidup adalah menjalani kehidupan sebagaimana tugas. Namun, tidak sedikit masyarakat yang keliru memaknai falsafah bijak tersebut. Sebagian masyarakat memaknai falsafah hidup yang cuma sebentar secara harfiah. Akibatnya, mereka mereka merasa tidak perlu bersusah- susah dalam menjalaninya.

Kekeliruan dalam memberikan makna terhadap falsafah hidup tersebut turut dipengaruhi pemikiran-pemikiran baru yang hadir bersama arus globalisasi. Dalam hal ini, arus globalisasi bergerak semakin cepat. Masyarakat yang semula patuh terhadap tradisi rupanya pikiran dan tindakannya mulai terpengaruh oleh paradigma modern. Harus diakui bahwa arus globalisasi ini sedikit banyaknya mempengaruhi masyarakat, khususnya dibidang wirausaha.

Globalisasi bisa berdampak positif terhadap masyarakat apabila segala bentuk pemikiran global ditempatkan secara proporsional. Dengan kata lain, sebagai pekerja yang bertempat di dalam negeri, baik tingkat local maupun nasional, alangkah baiknya jika pikiran-pikiran yang bersumber dari arus globalisasi hanya dijadikan acuan.

Pada prinsipnya, prilaku seorang pekerja dari masyarakat Indonesia harus selalu menjunjung tinggi nilai- nilai dari falsafah hidup ’’berfikir local, bertindak global”. Apabila produk pemkiran globalisasi telah menjadi ajaran hidup masyarakat Indonesia maka sikap dan prilaku akan jauh dari etika sosial di ruang lingkup pekerjaan.

Berfikir tidak membutuhkan hari baik atau waktu yang tepat. Berfikir dapat dilakukan dalam menjalankan rutinitas sehari-hari, ketika berjalan, bersantai atau bahkan tengah melakukan pekerjaan. Namun, berfikir ternyata termasuk hal yang berat untuk dilakukan. Hendry Fold- dalam Prasetyono-menyatakan bahwa berfikir adalah aktivitas paling berat dari antara segala macam pekerjaan. Itulah penyebab sangat sedikit orang yang melakukannya.

Kekuatan apa yang paling tangguh dan tersembunyi ? kekuatan ini bisa menyelamatkan, tetapi juga dapat mendatangkan kehancuran. Kekuatan tersebut tidak lain adalah pikiran. Kekuatan pikiran yang diarahkan akan dapat membangun dan menjaga. Sebaliknya, jika kekuatan tersebut ditumbangkan maka akan berakibat buruk pada diri sendiri dan bahkan lingkungan.
Budaya malas yang sering disematkan untuk masyarakat Indonesia hendaklah hanya menjadi catatan masa lalu. Sebab, saat ini masyarakat dihadapkan dengan berbagai hal yang serba cepat (instan). Sikap malas berfikir akan berakibat enggan melakukan segala sesuatu, termasuk tidak mau repot atau bersusah payah demi mewujudkan keinginan. Anda mungkin sering mendengar atau menyaksikan berita mengenai tingginya angka kriminalitas di negeri ini. Hal lain yang tidak kalah mengejutkan ialah budaya perdukunan masih tetap dipelihara. Hal ini tidak lepas dari adanya keinginan tinggi, tetapi diikuti sikap malas mencari solusi untuk mewujudkannya.

Berfikir global merupakan tuntutan untuk mengembangkan daya pikir agar tidak tersingkir. Adapun maksud mengembangkan daya pikir dalam hal ini ialah mencari solusi paling tepat, efektif, terbaik, menguntungkan, serta tidak berbanding terbalik dengan norma masyarakat, agama, moral, serta budaya local. Pemikiran seperti ini akan sangat membantu dalam hal pekerjaan. Jadi, bukan meniru hal-hal yang bersifat negative, tetapi mencari bentuk dan desain yang tepat atau sesuai dengan budaya dan kepribadian bangsa. Pelajari hal-hal yang diperlukan dalam pekerjaan. Setelah itu, berupaya mencari cara yang tepat untuk mengaplikasikan sesuai dengan kebutuhan. CERDAS MENGELOLA EMOSI


Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?

Komentar

POPULAR POST

IMAM AL GHOZALI JELASKAN MUSIK DAN TARIAN PARA SUFI

Musik dan tarian para sufi dijelaskan oleh Imam Al Ghazali. Hukum musik dan tarian tergantung bagaimana keduanya digunakan. Sedangkan bagi kaum sufi, musik dan tarian yang mereka lakukan merupakan sepenuhnya bersifat keagamaan. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya berjudul Kimia-i Sa'adah menjelaskan, para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka. Dan dengan bermusik, para sufi kerap mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani. Maka dalam hal ini, hati para sufi menjadi sebersih perak yang dibakar di dalam tungku. Mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin walau seberat apapun. Baca Juga :  Kharomah-sayidah-nafsiah-dan-wali-allah Para sufi kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani. Sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerap kali kehilangan kesadaran indriawi. Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian d