Kata Al-Hallaj, Iblis Itu Bertauhid, Tapi..
Jauh sebelum Nabi Adam As diciptakan sang khalik, Iblis sudah memasrahkan seluruh jiwa raganya dan membuktikan kecintaannya pada Allah dengan merawat ketaatan serta ketauhidan yang bahkan oleh malaikat pun tidak mampu ditandingi. Tiada hari tanpa ibadah kepada Allah. Cinta iblis benar-benar satu dan hanya dipersembahkan untuk Allah.
Dalam Alquran romantika ketaatan iblis tertulis pada banyak ayat, salah satunya dalam surat al-Baqarah: 30-37.
Ayat-ayat tersebut selama ini banyak dan atau selalu dibawa pada pemaknaan negatifnya; secara general umat manusia sepakat bahwa iblis pongah, enggan bersujud kepada Nabi Adam, lalu dicap sebagai pendurhaka, akan tetapi mari kita coba telisik ayat ini dengan melihatnya dari aspek potitifnya, yang memperlihatkan sebegitu besar ketaatan yang iblis miliki.
Setelah Adam diciptakan, Allah lalu memerintahkan iblis untuk sujud kepada Adam. Meski hanya bermakna penghormatan, iblis tidak rela. Iblis menolak bersujud karena ketetapan hati yang sudah lama dia pegang; hanya Allah-lah satu-satunya dzat yang pantas ia sembah.
Iblis sangat memegang prinsipnya dengan terang-terangan menolak perintah Allah. Perintah yang seharusnya tak ditolaknya sekaligus perintah tak pernah diterima batinnya. Perintah yang sama sekali tidak terbayangkan beratnya; perintah sang kekasih untuk bersujud kepada mahluk, zat selain Dia.
Al-Hallaj (w. 301 H) dalam kitabnya yang bernama Thawasin mengapresiasi dan takjub atas apa yang diperbuat iblis dengan berkata, “ma kana fi ahlis sama’i muwahhidun mitsla iblis!” (tidak ada ahli (penduduk) langit yang memiliki tauhid murni kepada Allah seperti iblis).
Tauhid murni yang dimiliki Iblis tak lain adalah representasi ketaatannya yang begitu dalam kepada Allah.
Interupsi iblis “ana khairun minhu, khalaqtani min nar wa khalaqtahu min thin”, sebenarnya legitimasi agar penolakannya dapat dimaklumi oleh Allah, sang kekasih. Meskipun pada akhirnya dicap durhaka dan diusir dari surga, akan tetapi di sisi lain Allah masih mengabulkan permintaan iblis untuk hidup hingga hari kiamat.
Seakan-akan ada tanda tersirat bahwa ketauhidan yang murni mesti abadi dan iblis harus hidup hingga kiamat; pertama agar manusia belajar dari kisahnya untuk menjaga diri dari kesombongan dan kedurhakaan, yang kedua untuk mengabadikan lambang ketaatan dan ketauhidan abadi iblis kepada Allah.
Catatan penjelas al-Hallaj pada bagian ini adalah, pada mulanya iblis merupakan imam dari malaikat-malaikat serta para penduduk langit lainnya, maqamnya sangat mulia dan sangat dekat dengan kebenaran. Sampai-sampai al-Hallaj membandingkannya dengan nabi Muhammad saw. Iblis sebagai imam penduduk langit, sementara nabi Muhammad saw adalah imam dari penduduk bumi.
Pada penjelasan selanjutnya al-Hallaj membandingkan terciptanya iblis dengan nabi Muhammad. Iblis tercipta dari api yang sifatnya kasar –min naar al qahri, sementara nabi Muhammad tercipta dari cahaya yang lembut –min anwar al latif.
Hingga pada kesimpulannya al-Hallaj berpendapat bahwa kasar dan lembut adalah sifat dari suatu kebenaran dengan mengutip ayat yudillu man yasyaa’ wa yahdi man yasyaa’. Kebenaran bisa berpotensi menjadikan kita meraih kesesatan namun berpotensi pula mengantarkan kita pada jalan hidayah.
Dalam hal ini al-Hallaj mengisyaratkan bahwa sesuatu yang kasar, serampangan, dan angkuh berpotensi mengantarkan kita pada kesesatan, meskipun perilaku kasar, serampangan, dan angkuh itu kita lakukan untuk kebenaran. Sementara kelembutan, dan kehati-hatian berpotensi mengantarkan kita pada hidayah.
Narasi-narasi al-Hallaj tentang iblis sungguh menyejukkan. Bahkan ia mengkomparasikannya dengan Nabi Muhammad saw. Al-Hallaj memuji-muji ketauhidan iblis setinggi-tingginya, dan tidak ada yang salah pada ketauhidan iblis.
Yang al-Hallaj kritik kemudian adalah sikap kasar, serampangan dan angkuh yang ada pada diri iblis. Bahkan nyaris tak ada kata-kata caci maki dan kafir dari narasi al-Hallaj kepada iblis. Baca Juga : Mujahadah
Kritik al-Hallaj murni pada sikap kasar iblis, serampangan, dan keangkuhan yang kemungkinan bisa terjadi pada semua makhluk, entah itu manusia, jin, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Penulis : MUKHAMMAD LUTFI
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?
Komentar
Posting Komentar
SILAKAN KOMENTAR SESUAI TOPIK.....